Thursday, 26 July 2012

Bangkalan. Bincang –bincang dengan pak Hidrochin Sabaruddin.
Dahulu ada seorang putri di suatu kerajaan. Pada suatu malam, putri itu bermimpi memakan bulan. Beberapa hari kemudian, putri itu hamil, karena diketahui anaknya hamil, ayahnya, sebagai seorang raja merasa malu lalu dia memanggil dan mengutus seorang patih untuk membunuh putri itu, karena telah mencemarkan nama baik kerajaan. Akan tetapi, patih itu merasa iba dan melihat ada kelebihan serta sesuatu yang tidak biasa, menurutnya “ tuhan memberikan keistimewaan dalam diri putri itu. Akhirnya, patih dan putri itu dihayutkan dari daerah tuban ke arah utara, dengan menggunakan hitek yaitu semacam bambu yang dirakit menjadi sampan yang melewati arah utara sehingga terdampar di sebuah karang, sekarang terkenal dengan sebutan gunung Geger. Konon, dari bukit Geger di bawanya ada lorong panjang yang sampai ke gua di bukit Payudan di Sumenep.
Konon, Daratan Madura awalnya bukan seperti yang sekarang ini, di daratan itu akhirnya sang putri melahirkan seorang anak yang diberi nama Raden Sagara, Sagara berarti lautan. Berhari –hari anak ini tumbuh dengan baik sebelum ditempatkan ke daerah Nipah, Patapan di kota Sampang. Anak itu besar di sana, ketika beranjak dewasa, suatu ketika anak itu melihat kedatangan dua ular naga muncul dari arah laut. Raden Sagara merasa takut dan berlari ke arah ibunya, sang ibu merasa bingung, sehingga, ibunya yang seorang Putri itu memanggil seorang patih, cara memanggilnya pun hanya dengan menghentakkan kaki, sehingga patih itu bisa muncul seketika di depannya, lalu ditanyakanlah perihal kedatangan dua ular tersebut.
Pesannya “ Kalau bertemu kembali, bantinglah ular itu ke tanah agar menjadi senjata, ketika Raden Sagara bertemu ular itu kembali lalu dibantinglah dua ular itu sehingga berubah menjadi keris dan tombak. Keris dan tombak itu diberi nama “ Senanggala atau se alegureh “ Dua pusaka itu bermanfaat ketika ada kerajaan di sekitar kediaman Raden Sagara di serang bangsa China dan Eropa, keberadaan Raden Sagara yang terkenal suka membantu orang dan merupakan sosok yang perkasa. Sehingga kerajaan itu mengundangnya untuk memberantas penjajah dari bangsa China dan Eropa tersebut. Akhirnya, Raden Sagara bisa memenanginya. Raden Sagara dan ibunya lalu menghilang atau dikenal dengan kata Mokso. yaitu menghilang tanpa diketahui keberadaan dan rimbanya. Konon, Raden sagara dikenal orang pertama di Madura.
Daerah Madura dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Madura Barat dan Timur. Madura barat terdiri dari kota Sampang dan Bangkalan, sedangkan Madura timur adalah Pamekasan dan Sumenep. Orang Sumenep dikenal dengan keturunan Jaya Katwang dan orang Sampang dan Bangkalan dikenal keturunan kerajaan Majapahit yang menelorkan raja-raja Madura barat, leluhurnya adalah Nyai Ageng Mama, tempat peristirahatannya ada di kota sampang.
Persoalan seputar carok, sebenarnya carok bukanlah budaya asli orang Madura, karena budaya adalah kebiasaan hidup sehari –hari yang penuh dengan muatan nilai estetis. Keberadaan carok selalu berkonotasi negative karena mesti ada korban, hal ini selalu berakibat buruk buat pencitraan pulau Madura
Secara geografis masyarakat Madura tinggal di alam yang keras, Mereka ada yang tinggal di pegunungan dan ada yang tinggal di pesisiran. Biasanya orang pegunungan merasa kesulitan mencari air, sehingga mereka harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara mengambil (menimba) air dari sumur yang begitu dalam. Berbeda dengan orang pesisiran, mereka terbiasa memakan sesuatu yang asin, sehingga untuk sekedar bertahan hidup mereka harus bekerja keras melaut dengan suasana laut udara yang panas, hal itu yang menyebabkan orang –orang Madura berkarakter keras.
Tahun 70-an , dari 18 kecamatan di kota Bangkalan, setiap hari selalu ada berita seputar carok tetapi ketika ada pembauran guru yang datang dari luar Madura, saat itu, ada tujuh puluh guru, kebanyakan dari Blitar dan Pacitan serta Nganjuk untuk mengajar di Madura, laporan ke kantor polisi tentang carok semakin berkurang barangkali dengan pembauran itu, masyarakat Madura harus menghargai pihak pendatang, yang tinggal di daerahnya.
Orang Madura sangat menjaga wibawa dirinya agar tidak dipermalukan. Orang Madura tidak suka dipermalukan di depan umum, jangan sampai kita memanggil dengan berteriak –teriak ketika mereka lagi ada masalah, karena akan menimbulkan keegoan mereka muncul.
Ketika kita mampu mengambil hati orang Madura. Maka mereka akan berbuat baik, bahkan mereka menganggapnya seperti saudara sendiri namun apabila dibuat malu maka taruhannya bisa nyawa, sebaliknya kalau sudah punya salah, triknya, orang Madura ini tidak cukup didekati dengan pendekatan persuasif, tetapi perlu pendekatan sosial, yaitu kepada orang –orang di sekitarnya. seharusnya tugas kita yang mengerti tentang moralitas, kita harus pintar mencari solusi atas kasus yang ada.
Sebetulnya persoalan carok bisa diselesaikan secara kekeluargaan, akan tetapi masih ada pihak keluarga yang tidak terima, terutama dari pihak ibu, terkadang seorang ibu memanas –manasi suasana seperti “ lebih baik kamu pakek BH dan Celana dalam saja kalau tidak mau bertengkar atau membalas atas kematian keluargamu, walaupun orang Madura mendapatkan didikan agama yang sangat kuat tetapi bagi mereka “ lebih baik putih tulang dari pada putih mata”.

0 comments:

Post a Comment